Memaklumi Masa Kecil, Memaafkan Marahnya Orang Tua

 



Usiaku sekarang hampir kepala 3, namun terkadang (atau bisa dibilang seringkali) masih sulit terlepas dari bayangan masa kecil. Ketika dibully, merasa tidak nyaman, cemas saat ketemu orang hingga mengalami omelan dan pelampiasan pertengkaran orang tua. Semuanya pernah dialami berbarengan sewaktu menginjak remaja.

Awalnya aku merasa cuma aku aja yang mengalami hal itu, namun saat itu (pas remaja) aku udah paham bahwa pasti di luar sana ada yang mengalami hal yang lebih gak enak. Ada yang dipukul orang tua, mempunyai orangtua yang toxic, dan cerita-cerita menyeramkan lainnya antara anak dan orang tua.

Tapi makin kesini, jadi makin tau cerita orang-orang dari sosmed dan cerita teman bahwa yang kualami saat remaja benar-benar hal yang biasa. Bahkan mungkin dianggap lelucon bagi sebagian orang. Katanya sih, yang kualami saat remaja itu udah "nasib" bagi anak dari orang tua asia. (lol? ketawa jangan?)

Katanya sih, orang tua asia kena stereotype macam begini : menyepelekan perasaan anak, merasa superior (tidak ada istilah orang tua yang salah) hingga merasa bahwa anak adalah investasi di masa depan. 

Kalau mau dipersempit lagi ke kisah orang tuaku, ya kurang lebih sama, sih.. Tapi tetap saja, tetap ada hal-hal yang bisa ku syukuri di setiap momen bersama orang tua. Seperti saat orang tua kelelahan mencari uang, saat orang tua rela berhutang demi uang SPP sekolah, dan lain semacamnya.

Tapi, buatku yang saat itu masih remaja, mungkin yang ada di pikiranku saat itu ya cuma : mama jahat, papa galak, etc

Semakin ku Dewasa, Semakin ku Memaafkan

Kalau sekarang, makin dewasa makin mengerti dan paham, bahwa membesarkan anak bukan tugas mudah apalagi buat orang tua yang kondisi ekonominya pas-pasan, apalagi perbedaan generasi dan background pendidikan yang cukup jauh (ortu lulusan SD sedangkan aku lulusan S1, can u imagine?), jadi membuat aku makin sulit untuk "mengalah" pada saat itu. Namun, nasi udah jadi bubur. Banyak sekali efek dari treatment orang tua ke karakterku yang membekas hingga sekarang. Hal itu sedikit banyak membuatku menjadi pribadi yang gak percaya diri dan sulit bersosialisasi. Dulu aku sangat canggung dan bahkan gak tau caranya untuk bisa enjoy sama diri sendiri. 

Aku belum punya anak, tapi aku bisa paham bahwa membesarkan anak pasti sulit. Kalau aku di posisi orang tua, mungkin gak akan bisa selalu sabar setiap hari menghadapi pusingnya ngurus anak.

Lalu bagaimana dengan bekas luka di masa kecil yang gak sembuh hingga sekarang? Aku berharap banget luka di masa kecil bisa sembuh dengan sendirinya seiring bertambah dewasa. 

Di masa dewasa seperti sekarang ini, rasa-rasanya aku gak punya masa remaja yang utuh. Aku gak ngalamin pacaran pas sekolah, gak ngalamin bergaul ke mall sama teman-teman, gak ngalamin prom night saat kelulusan dan seringkali juga gak ngalamin punya memori indah lainnya pas ABG (well, hal-hal tersebut bukan karena orangtua, tp lebih karena aku ga punya pilihan untuk mendapatkan hal tersebut karena satu dan lain hal).

Tapi karena hidup harus jalan terus, mau tidak mau aku gak bisa melihat ke belakang. Godaan terbesar saat ini adalah untuk tidak lagi melihat ke belakang. 

Aku anggap semua memori pahit di masa kecil dan remaja menjadi hal yang harus bisa aku terima, aku peluk seutuhnya menjadi bagian dari hidupku sendiri. 

Seperti kata temanku, hidup itu jangan hanya mau terima yang enak-enaknya saja. Bagian hidup yang pahit pun harus diterima sebagai bagian dari realita hidup. (ada bahasa yang lebih enak gak sih selain "realita hidup"? please tell me 😂)


Ujung-ujungnya, memang gak ada hidup yang sempurna. 



Tidak ada komentar